
Pertama,
aal abad ke-20 sampai akhir 1930-an, berkembang pandangan romantisme
eksotis Mooi Indie serta perkembangan seni lukis Bali Baru yang berasal
dari inovasi lukisan wayang tradisional gaya Kamasan. Pandangan itu
mencerminkan citra para pelukis Belanda, pelukis priyayi pribumi,
masyarakat Belanda, dan Indo yang berada dalam setting zaman dan
kebudayaan kolonial feodal. Mereka memuja konversi keharmonisan dan
nilai ideal, yang dalam lukisan berupa keindahan pemandangan alam
dalam gayanaturalisme dan impresionisme. Lukisan-lukisan Mooi
Indie dapat dilihat pada karya-karya Du Chattel, Locatelli, Willem
Hofker, Ernest Dezentje, Le Mayuer, Pirngadi, Abdullah Suriosubroto,
Basuki Abdullah, Wakidi, Wahdi, dan lain-lainnya.
Kedua, tahun 1938-1965 melalui para seniman masa Persagi singga Lekra, berkembangan paradigma estetik kontektualisme kerakyatan. Paradigma ini dipengaruhi oleh perubahan social lewat konteks-konteks politik. Semangat nasionalisme dan kemerdekaan sangat berpengaruh pada perubahan estetika dalam seni lukis. Periode ini diwarnai keinginan seniman merepresentasikan realitas kehidupan rakyat dan mencari nilai keindonesiaan dalam seni rupa. Visi nasionalisme dan penolakan romantisme eksotis oleh Persagi menjadi gerakan antitesis melawan kemapanan seni lukis Mooi Indie. Seni lukis dipakai untuk mengungkap kehidupan dan perasaan jiwa rakyat yang dalam sampai yang revolusioner. Hal itu dapat dilihat pada karya-karya Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandi, Trubus Sudarsono, Amrus Natalsya, Djoni Trisno, Itji Tarmizi, dan lain-lainnya.
Kedua, tahun 1938-1965 melalui para seniman masa Persagi singga Lekra, berkembangan paradigma estetik kontektualisme kerakyatan. Paradigma ini dipengaruhi oleh perubahan social lewat konteks-konteks politik. Semangat nasionalisme dan kemerdekaan sangat berpengaruh pada perubahan estetika dalam seni lukis. Periode ini diwarnai keinginan seniman merepresentasikan realitas kehidupan rakyat dan mencari nilai keindonesiaan dalam seni rupa. Visi nasionalisme dan penolakan romantisme eksotis oleh Persagi menjadi gerakan antitesis melawan kemapanan seni lukis Mooi Indie. Seni lukis dipakai untuk mengungkap kehidupan dan perasaan jiwa rakyat yang dalam sampai yang revolusioner. Hal itu dapat dilihat pada karya-karya Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandi, Trubus Sudarsono, Amrus Natalsya, Djoni Trisno, Itji Tarmizi, dan lain-lainnya.
Ketiga,
pada paruh kedua 1960-an hingga tahun 1980-an, paradigma estetik
humanisme universal menguat. Seni rupa membebaskan penciptaan dari
pengaruh politik. Penghargaan pada kesadaran pribadi dan kebebasan
berekspresi mendorong penjelajahan individual untuk melahirkan ungkapan
bentuk yang beragam. Di samping itu, pengaruh modernisasi dan
pembangunan sangat signifikan pada sifat-sifat karya. Proses kreatif
personal melahirkan berbagai ungkapan yang menitikberatkan perasaan dan
emosi (liorisme). Beberapa fenomena visual memunculkan cirri sifat
intuitif, imajinatif, dekoratif, dan non formal improvisatiris. Seni
abstrak merupakan gaya paling dominant dalam periode ini. Keragaman itu
dapat dilihat pada karya-karya Achmad Sadali, A.D. Pirous, SriHadi, Popo
Iskandar, Fadjar Sidik, Widayat, Zaini, Nashar, Rusli dan lain-lainnya.
Keempat,
sejak tahun 1974, muncul paradigma estetik kontektualisme pluralistis.
Masalah sosio actual dianggap lebih pemting dari pada keharuan sentiment
pribadi seniman. Gerakan Seni Rupa Baru muncul dengan paradigma estetik
yang melawan bentuk seni rupa personal dan liris. Paradigma it uterus
berkembang, sehingga tahun 1980-an mulai menjadi sintesis berbagai
bentuk seni rupa kontemporer Indonesia. Beberapa cirri paradigma yang
diajukan yaitu melalui proses kreatif yang analitik, kontektual, dan
partisipatoris. Mereka juga menghancurkan batas-batas seni murni, seni
tinggi dan seni rendah, serta sikap plural nilai dalam ungkapan. Dalam
karya-karyanya ada upaya kuat untuk menampilkan kekongkretan baru lewat
berbagai macam medium dari teknik kolase, pemanfaatan ready made, seni
instalasi, environment art, hingga performance art. Media realisme juga
dipergunakan dengan teknik fotografis sehingga mencapai super realis.
Karya-karya dengan medium tidak terbatas menjadi cirri ungkapan seniman
GSRB, yaitu pada Jim Supangkat, F.X. Harsono, Nyoman Nuarta, Bonyong
Muni Ardhi, Dede Eri Supria, dan lain-lainnya.
Kelima,
adalah paradigma Sistesis Baru. Akhir abad ke 20 sampai kini. Dalam
kurun waktu 1980 sampai 1990-an, terjadi polarisasi lirisisme dan
nonlirisisme dalam seni rupa Indonesia. Di antara dua kutub, ada
beberapa perupa moderat mencati jalan lain menyerap kedua sikap itu.
Mereka mengganti kanvas dengan material-material baru untuk mencapai
Kkekongkretan baru�€�, namun tidak menolak pandangan lirisisme.
Gejala itu merupakan benih sintesis, meskipun belum mendapat
dukungan. Ada juga karya-karya bentuk lama muncul dengan kecenderungan
surealisme, abstrak ekspresionisme, dan gaya lainnya. Banyaknya perupa
muda yang menggunakan ungkapan multi media, tidak hanya besikukuh pada
konsep estetik dan pandangan social seperti kelompok Seni Rupa Baru,
tetapi bebas dan tidak berpihak. Bahasa lirisisme masih sering dipakai,
namun mereka juga melakukan performance art dan membuat seni instalasi
dan video art. Di samping itu, mereka tidak melihat fenomena sosial
hanya dari kebenaran searah yang berpihak. Contoh tipikal dalam
kecenderungan ini adalah pada karya Heri Dono, Dadang Christanto, Tisna
Sanjaya, Marida Nasuition, Hendrawan Riyanto, dan lain-lainnya. Di lain
pihak, para perupa muda yang berawal dari lirisisme mulai bosan dengan
kehalusan, imaji personal dan esoteric, dan ketumpulan pada respon
social. Dalam kecenderungan ini banyak variasi yang dibuat. Mulai dari
komentar sosial lewat berbagai gaya, dengan tetap memanfaatkan
symbol-simbol tradisi, atau sampai pada sifat yang provokatif pada
public seperti karya-karya Kelompok Taring Padi. Oleh : M. Agus Burhan (Kurator), Sumber: Galery Nasional
Saat ini 0 comments :
Post a Comment