-->

Seni Topeng Batak Berlatar Belakang Nilai Budaya Yang Luhur

Friday, February 13, 2015 : 1:07:00 AM

KARYA SENI YANG HAMPIR TAK PERNAH ABSEN DALAM UPACARA TRADISIONAL BATAK 

Kesetiaan adalah suatu sikap hidup masyarakat tradisional Batak yang banyak menentukan corak budaya Batak. Setia dan taat kepada adat, setia bertatakrama tradisional, patuh dan hormat kepada nenek moyang menyebabkan budaya Batak lestari secara tradisional.
Topeng Batak
Topeng atau kedok adalah gambar atau pahatan dalam bentuk muka orang atau binatang. Topeng pada umumnya dibuat dari kayu, meskipun ada pula dari bahan lain yang dibuat demikian rupa sehing­ga dapat dipakai di bagian muka atau kepala orang untuk keperluan upacara atau tarian. Muka yang digambarkan adalah watak-watak, tokoh-tokoh atau simbol-simbol tertentu yang dapat memberi efek seperti yang dikehendaki oleh penciptanya. Topeng-topeng dengan efek magis telah lama tumbuh dalam masyarakat. Gambar topeng yang digoreskan pada kendi atau gerabah lain, pada perunggu, gen­derang perunggu dan lain-lain, sudah ada sejak masa prasejarah.
Topeng sebagai ragam hias rupanya merupakan salah satu di anta­ra aspek seni yang tertua di dunia dan mempunyai fungsi dalam ke­percayaan masyarakat yakni mendatangkan roh nenek moyang dan bernilai magis, di samping mempunyai nilai simbolis. Itulah sebabnya topeng hampir tak pernah absen dalam upacara-upacara tradisional, khususnya di masyarakat Batak.   

Di daerah Batak Karo topeng disebut "gundala-gundala," di Simalungun "huda-huda," di Pakpak Dairi "mangkuda-kuda."  To­peng ditampilkan pada upacara memanggil hujan misalnya, juga se­bagai hiburan raja-raja (baik yang masih hidup maupun yang sudah menjadi arwah). Raja-raja adalah pelindung kerajaan atau seluruh masyarakat. 

Penampilan topeng di Batak Karo, Simalungun, Tapanuli, Pakpak Dairi, cenderung pada bentuk teater, seperti halnya tari topeng yang terdapat di Jawa, Bali dan Madura yang berlatar belakang falsafah kehidupan yang digambarkan secara estetis dengan iringan musik dan lagu. Bedanya, pertokoan topeng Batak lebih terbatas dibanding­kan dengan topeng Jawa, Bali dan Madura.

Ragam hias topeng yang berkembang di berbagai daerah di Indo­nesia sejak masa prasejarah itu semakin berkembang apalagi dengan masuknya pengaruh asing, terutama Cina. Di lingkungan masyarakat Batak seni topeng maju pesat sejak awal abad ke-20 ini, terutama gundala-gundala di daerah Simalungun.

Dasar atau latar belakang perkembangan seni topeng di lingkung­an masyarakat Batak itu sama, yakni sebagai sarana untuk memanggil dan memuja roh nenek moyang. Dalam perkembangannya timbul perbedaan-perbedaan variasi pada berbagai daerah. 

Topeng Simalungun

Cerita yang masih sangat berkesan di kalangan masyarakat setem­pat, berkembangnya seni topeng di daerah Simalungun berawal dari kisah sedihnya keluarga raja Simalungun. Putera tunggal raja mening­gal dunia, raja sedih. Apalagi sang permaisuri ("puang balon") men­jadi merana. Seluruh kerajaan diliputi mendung kesusahan. Dalam kesulitan semacam ini timbullah upaya di kalangan rakyat untuk menghibur keluarga raja, tetapi lama tak kunjung berhasil. Kemudian ada gagasan yang cemerlang yakni menyelenggarakan pertunjukan dengan lakon yang lucu dalam bentuk tari topeng. Topengnya dibuat dari pelepah bambu atau sejenis itu, dibuat dalam bentuk dan expresi yang lucu serta ditarikan dalam tata gerak yang lucu pula. Raja dan puang balon dapat terhibur. Kemudian tari topeng ini berkembang dan merakyat serta sangat digemari dengan sebutan tari huda-huda. Topengnya sendiri makin sempurna, bahannya bukan pelepah lagi melainkan kayu yang tahan lama dengan ukiran dan warna yang me­narik dan bergaya lucu. Topeng Simalungun ini diduga merupakan tahap awal dari topeng Batak pada umumnya.

Pada dasarnya topeng Simalungun terdiri atas empat tokoh saja, yaitu satu wanita, dua pria dan satu burung. Gaya wajah tidak seram, tetapi romantik dan cenderung lucu. Exresi rendah hati tetapi opti­mis, mempesona, sesuai dengan latar belakang sejarahnya, yakni untuk menghibur keluarga raja yang sedang duka-nestapa. 

Topeng Tapanuli

Seperti halnya di daerah Simalungun, di daerah Tapanuli seni (pertunjukan) topeng juga dari cerita rakyat tentang kedudukaan raja dan permaisuri karena kematian puteranya yang tercinta. Di sini tokoh topeng yang untuk menghibur itu terdiri atas sepasang pria wanita, dengan ukuran topeng sekedar cukup untuk penutup muka. Dipergunakan dalam bentuk tarian dengan tetabuhan tanpa dialog khusus.

Si Gale-gale, yang artinya lemah-lembut adalah boneka/patung kayu berbentuk manusia pria, remaja dalam ukuran yang mendekati natural, dilengkapi kostum tradisional Batak. Tiap-tiap bagian tubuh­nya diberi persendian dan tali sedemikian rupa sehingga seseorang (dalang) dengan iringan "gendang" dapat memainkannya seperti ge­rakan-gerakan seorang remaja putera yang seakan-akan hidup. Si Gala-gala dengan demikian termasuk seni teater boneka (puppet-theatre).

Latar belakangnya sama, yakni menghibur ibu yang kemati­an satu-satunya putera yang berangkat remaja sehingga mengalami duka nestapa yang amat dalam. Bahkan si anak yang telah jadi mayat itu dipeluk terus tanpa menghiraukan terjadinya proses pembusukan yang terjadi. Pada suatu saat ketika sang ibu terlena, tidak sadarkan diri seorang seniman pematung mengganti anak tersebut dengan se­buah patung dan mayat si anak pun dikuburkan. Setelah sang ibu sa­dar diberitahukan bahwa sang anak mulai sadar (hidup) kembali, tapi dalam keadaan lemah (Si gale-gale). Kemudian berkembang menjadi seni boneka yang seakan-akan hidup dan amat digemari oleh seluruh masyarakat Batak, juga diikut sertakan sebagai pengisi upacara adat kematian, memanggil roh dan pemujaan roh nenek moyang yang di­anggap baik. Kemudian pertunjukan Si Gale-gale menjadi hiburan masyarakat luas karena fungsi sebagai upacara religius-magis dilarang oleh agama (Islam, Kristen) yang datang kemudian. 

Topeng Pakpak Dairi

Bila dibanding dengan daerah Simalungun di daerah Pakpak Dairi seni topeng tidak begitu berkembang. Pertunjukan ditujukan untuk upacara ritual di samping sebagai hiburan dan lebih cenderung pada ritual-magis. 

Topeng Karo

Seni topeng ("gundala-gundala") di daerah lebih muda bila diban­dingkan dengan seni topeng Simalungun dan Pakpak Dairi. Di Kabu­ paten Karo topeng tradisional masih banyak kita temui seperti di desa-desa: Sukanalu, Juma Padang, Guru Singa, Siberaya, Kubu Calia dan Lingga. Di daerah Karo Topeng dipertunjukkan pada hari-hari besar nasional di samping upacara-upacara adat dan tontonan rakyat yang bersifat pendidikan. Juga untuk upacara tolak-bala, penaburan benih dan penyambutan tamu agung. Dilakonkan dalam gaya komedi tanpa dialog. Pemain terdiri atas lima orang yang berperan sebagai: raja/panglima, permaisuri, puteri raja, menantu dan musuh (burung genda-gendi). 

Bahan dan Proses Pembuatan Topeng

Bahan baku topeng adalah kayu yang cukup keras yakni sangketten, dilengkapi dengan bambu, ijuk dan lain-lain, termasuk kain.

Kayu yang bulat itu diukir berbentuk wajah, bagian dalamnya dibuang sehingga berbentuk cekungan yang sesuai dengan bentuk muka orang berikut lubang untuk mata dan angin-angin. Topeng bu­rung si gurda-gurdi, paruhnya juga terbuat dari kayu yang sama, ke­rangka (badan) burung yang dapat dimasuki orang itu dibuat dari bambu dan ditutup kain. Topeng, lebih tepatnya boneka atau patung Si Gale-gale, sesuai dengan bentuknya yang khas dan rumit itu meru­pakan karya seni khusus yang dibuat secara khusus pula. Teknis per­sendian dan tali-temali di sini sangat penting agar dalang dapat "menghidupkan"nya dalam permainan. Di samping itu pakaian dan tata rias juga pegang peranan penting. 

Kesimpulan dan Saran

Seni topeng Batak adalah karya seni dekorasi, patung, sekaligus pentas yang tumbuh dari sejarah, tradisi masyarakat dan alam Batak. Telak memberi ciri dan kebanggaan berlatar belakang nilai budaya yang luhur, yakni kesetiaan. Meski fungsinya makin menggeser dari sakral ke arah profance, namun nilai estetis dan pemuas rasa setia dan sekaligus sebagai pelipur lara yang turun temurun itu merupakan "kekayaan" budaya daerah maupun nasional yang tak ternilai.

Diper­lukan dorongan dan upaya untuk menyelamatkan yang masih terting­gal dan membuat lagi agar tidak punah, tapi justru berkembang. Ma­rilah pecinta warisan budaya kita ini, kita wujudkan dalam perilaku yang nyata. Sumber: Kebudayaan Indonesia

Saat ini 0 comments :