Batik
berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa, yaitu "amba" yang berarti
menulis dan kata "tik" yang berarti titik. Titik tersebut disebut
“cecek” yang artinya bagian penting dari batik. Dalam bahasa jawa batik
disebut “trik atau tantik”, yaitu kain yang digambari tampak seperti
bentuk titik-titik. Kata ambatik mungkin diterjemahkan selembar kain
yang terdiri dari titik-titik berasal dari malam atau zat tertentu.
Berdasarkan uraian pendapat di atas, batik dapat dikatakan menghiasi kain mori, katun atau sutera dengan menggunakan lilin atau malam sebagai bahan penolak warna dengan menggunakan alat canting atau sejenisnya, serta melalui beberapa proses sehingga menghasilkan suatu motif batik yang unik dan menarik pada permukaan kain tersebut.
Sejarah Tehnik Batik
Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam
adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa
teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya
kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di
Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti
T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794).
Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria,
serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik sudah ada
semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII
atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan sampai awal abad XX ialah
batik tulis, sedangkan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I
atau sekitar tahun 1920-an.
Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa
sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik
ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6
atau ke-7. Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A.
Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli
dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat
bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme
tetapi diketahui memiliki tradisi kuno membuat batik. G.P. Rouffaer
juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di
Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa
dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa
canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu. Detil ukiran kain yang
menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita, arca dewi
kebijaksanaan buddhis dari Jawa Timur abad ke-13. Detil pakaian
menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip
dengan pola batik tradisional Jawa yang dapat ditemukan kini. Hal ini
menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat
dengan canting telah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau bahkan lebih
awal.
Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa. Oleh beberapa penafsir, serasah itu ditafsirkan sebagai batik.
Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.
Semenjak industrialisasi dan globalisasi memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul dan dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.
Sejarah Perkembangan Batik Tradisional di Indonesia
Sejarah Tehnik Batik
Pembuatan Batik Tulis |
G.P. Rouffaer |
Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa. Oleh beberapa penafsir, serasah itu ditafsirkan sebagai batik.
Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.
Semenjak industrialisasi dan globalisasi memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul dan dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.
Sejarah Perkembangan Batik Tradisional di Indonesia
Batik Motif Fairytale (dongeng) |
Batik Belanda |
Selanjutnya pengaruh budaya China juga terdapat pada batik di pesisir
utara Jawa Tengah hingga saat ini yang dikenal dengan nama Lok Can.
Orang-orang China mulai membuat batik pada awal abad ke 19. Jenis batik
ini dibuat oleh orang-orang China atau peranakan yang menampilkan
pola-pola dengan ragam hias satwa mitos China (naga dan burung phoenix),
ragam hias yang berasal dari keramik China kuno, dan ragam hias yang
berbetuk mega dengan warna merah atau merah dan biru. Batik China juga mengandung ragam hias buketan,
terutama batik China yang dipengaruhi pola Batik Belanda. Pola-pola
batik China dimensional, suatu efek yang diperoleh karena penggunaan
perbedaan ketebalan dari satu warna dengan warna lain dan isian pola
yang sangat rumit. Hal ini ditunjang oleh penggunaan zat warna sintetis
jauh sebelum orang-orang Indo-Belanda menggunakannya.
Batik Jawa Hokokai |
Perkembangan batik Indonesia sendiri lahir sekitar tahun 1950 yang secara teknis merupakan paduan antara batik keraton dan batik pesisir.
Pada perkembangannya batik di Indonesia juga memasukkan ragam hias
berbagai suku di Indonesia. Ketekunan serta keterampilan seni dari para
pengrajin batik membuat batik Indonesia tampil lebih serasi dan indah.
Hal ini disebabkan karena unsur-unsur budaya pendukungnya yang sangat
kuat sehingga terwujud perpaduan ideal antara pola batik keraton yang
anggun atau pola ragam hias busana adat berbagai daerah di Indonesia
dengan teknologi batik pesisiran yang dikemas dalam simfoni warna yang
tidak terbatas pada latarnya.
Jenis-Jenis Batik
Jenis-Jenis Batik
Menurut macamnya kain batik terdiri atas tiga, yaitu:
1. | Batik tulis |
2. | Batik cap |
3. | Batik kombinasi |
Sesuai dengan sejarahnya, batik memiliki kandungan makna filosofis
tersendiri dalam setiap motifnya. Menurut KRHT. DR. Winarso Kalinggo,
terdapat kandungan makna dalam motif:
Tatanan dan Tuntunan Dalam Batik
Dalam tradisi Jawa Keraton kain batik dipakai sebagai busana sehari-hari yang digolongkan dalam dua jenis, yaitu:
1. Kain Jarik
2. Kumpuh atau Dodot.
Kain jarik dipakai untuk berbusana “Jawi Jangkep” dengan ukuran 1 meter x
2,5 meter, bagian pinggir kain melebar memakai “seret” untuk “wiron”.
Batik sebagai busana dalam bentuk kain jarik ini memiliki 8 (delapan)
kelengkapan yaitu:
1. | Udheng (blangkon) |
2. | Kulambi (pakaian) |
3. | Sabuk (ikat pinggang) |
4. | Epektimang |
5. | Setagen |
6. | Kain Jarik |
7. | Dhuwung (keris) |
8. | Selop (alas kaki) |
Khusus untuk kulambi (baju) terbagi kedalam 3 (tiga) jenis menurut golongan kepangkatan, yaitu :
1. | Sikepan |
2. | Beskap (hitam) dan Beskap berwarna |
3. | Atelah |
Tatanan dan Tuntunan Dalam Batik
Dalam tatanannya, batik juga digunakan untuk menentukan usia anak khususnya dalam bentuk pemakaiannya, yaitu :
1. | Sabukwala (gadis yang belum tetes); |
2. | Putri Pinjung Kenceng; |
3. | Semekan Kancing-Wingking; |
4. | Busana Putri Genalaringen |
5. | Sabukwala Anak Putra; |
Leluhur masyarakat Jawa telah memberikan ajaran atau tuntunan yang
dimasukkan kedalam motif-motif kain batik sebagai pegangan dalam
kehidupan sehari-hari karena masyarakat Jawa begitu sarat dengan
makna-makna simbolis yang diberi doa dan permohonan kepada Tuhan dalam
melaksanakan tatacara dan upacara. Demikian pula batik dipakai sebagai
sarana dalam kehidupan manusia sejak lahir sampai meninggal dunia,
seperti :
1. | Upacara Tingkeban atau Mitoni; |
2. | Kopohan dan Gendongan; |
3. | Sinjang Menton (untuk perkawinan); |
Oleh karena di dalam busana adat Jawa
tersebut mengandung ajaran moral, etika, kepemimpinan, pengabdian,
mistik dan perjodohan, maka dalam berbusana harus diperhatikan masalah :
1. | Polatan : Wajah harus “sumeh” atau murah senyum. |
2. | Wicara : Bertutur kata halus dan menghargai lawan bicara. |
3. | Solah Bawa : Perilaku, cara berjalan dan pandangan harus sopan. |
4. | Saradan : Kebiasaan sombong dan kekerasan harus dihilangkan. |
5. | Patrap : Menghargai sesama, berprasangka baik dan menyenangkan orang lain. |
Untuk menunjang kelancaran kegiatan perdagangan dari berbagai jenis
batik, Pemerintah telah menentapkan bahwa semua kain batik yang
dipasarkan harus memakai merek dan label. Ketetapan ini dimaksudkan
untuk melindungi kepentingan baik produsen maupun konsumen. Setiap batik
yang dibuat dengan tulis tangan, pada bagian tepinya harus terdapat
tulisan “Batik Tulis” dan pada batik cap maka harus pula terdapat
tulisan “Batik Cap”. Melalui ketentuan ini diharapkan agar konsumen yang
bukan ahli dalam masalah batik tidak akan salah pilih. Begitu pula
dengan produsen batik
terutama pengusaha kecil yang umumnya pengrajin batik tradisional,
diharapkan dapat dilindungi dari ulah para pembajak yang biasanya
memiliki modal lebih besar dan lebih kuat.
Sumber: http://batikdan.blogspot.com/
Sumber: http://batikdan.blogspot.com/
Saat ini 0 comments :
Post a Comment